Ada banyak hal yang unik terjadi di negeri saya ini, sesuatu yang tidak banyak terjadi di bagian bumi lain. Salah satunya adalah fenomena digitalisasi kehidupan di masyarakat. Ketika iPod meledak dan penjualan musik digital mulai marak di belahan dunia lain, negeriku tak bergeming. Penjualan musik digital "macet total". Sulit sekali jualan lagu legal dalam format digital. Siapa yang mau beli? Lagu haram yang sangat murah bahkan gratis bertebaran dimana-mana.
Lalu, beberapa waktu yang lalu, seorang produser musik Indonesia diwawancara di sebuah acara TV nasional. Dia bilag bahwa saat ini pendapatan jualan musik di Indonesia didapat dari 2 sumber. Sumber pertama adalah dari penjualan musik secara tradisional (melalui CD, kaset, dll). Sumber lainnya adalah dari penjualan musik digital. Hah...? Agak kaget juga saya... kok bisa? Dari mana ya?
Beberapa detik kemudian saya sadar... Ternyata penjualan musik digital yang dia maksud adalah pendapatan para musisi/penyanyi dari royalti penjualan ring back tone (RBT) atau ada pula yang menyebutnya NSP (nada sambung pribadi) di telepon seluler. He3... asyik juga. Dan ternyata omzet bisnis ini luar biasa besar. Dengan harga "sewa lagu" berkisar Rp 7000-9000/lagu/bulan, maka harga ini saya anggap tergolong mahal. Di Amerika, 1 lagu dijual 99 sen oleh Apple. Walmart (baik toko online maupun toko fisik) menjualnya hingga 88 sen. Artinya sekitar Rp 8000an, ini untuk "dibeli selamanya" dan "dipakai semaunya", bukan hanya disewa 1 bulan dan hanya bisa dinikmati melalui saluran aneh yang tidak stereo lagi...
Gilanya, seperti yang dilakukan Rizka, anak remaja saya, dia memasang hingga 5 NSP di nomor ponselnya. Lima lagu tadi dimainkan secara random ketika orang lain meneleponnya. Kemudian saya iseng meneleponnya terus menerus dan minta agar dia jangan mengangkatnya. Kenapa Pah? Yah... sayang kan sudah dibeli mahal tapi tidak bisa didengar sendiri. Aneh kan?
Ini memang fenomena ajaib bin aneh. Beli lagu, tapi tidak untuk didengarkan sendiri, tapi untuk konsumsi orang lain yang menelepon kita. Atau ini justru pertanda begitu baiknya orang Indonesia terhadap teman-temannya? Kalau murah sih gak masalah, tapi ini mahal... tapi alasan anak saya beda lagi, "Rizka beli pas diskon jadi Rp 350/lagu/bulan, tapi lagu-lagu lama". Apa bedanya?
Konon, penghasilan para operator telepon seluler sangatlah besar dari bisnis "aneh" ini. Iklan besar-besaran digelar habis untuk membuat layanan ini menjadi laku. Dan kenyataannya memang sangat laku. Bahkan ibu saya saja yang sudah berumur 60 tahun memakai NSP juga, entah siapa yang memsangkannya :-) Kalau saya, hingga kini belum pernah tergiur dengan banyaknya SMS iklan di ponsel saya yang menawarkan RBT seperti ini.
Lucunya, sebagian penghasilan ini bukan dinikmati oleh pemilik/pencipta/pembawa lagu, tapi masuk kantong para operator seluler dan para content provider.
Biaya telepon dan SMS bisa murah, tapi yang dirugikan tetap masyarakat... ada saja cara orang bisnis menguras kantongnya. Kasihan bangsaku...
Baca juga ulasan dari sisi lain di blog Ahmad Makki yang menari untuk disimak juga.
No comments:
Post a Comment